“Kasih
sayang keluarga yang selalu kusayangi, ku berjuang dengan cinta yang takkan
mati, mengalir dan tak pernah berhenti bagai desiran ombak samudera yang terus
menghantam, menghujam, bantaman dataran bumi ini
Salam dariku adalah sapa, dari mereka adalah doa agar hidup kuraih titik
sempurna dorongan jiwa taburan cinta adalah anugerah tak terbatas
Semoga semuanya berkah tak bertepi selalu tersirami hingga kelak kudapat meraih hati semua cita-cita dan mimpi dengan cinta sejati”
Semoga semuanya berkah tak bertepi selalu tersirami hingga kelak kudapat meraih hati semua cita-cita dan mimpi dengan cinta sejati”
Beberapa
bait lagu dari bondan prakoso and feat two black yang terdengar dari airphone
pribadiku, membangunkanku dari tidur panjang ini. Terpenjat kulihat jam sudah
terlalu siang, matahari sudah menampakan sinarnya yang begitu terang, bahkan
rezekiku sudah dimakan ayam-ayam yang kelaparan. “ah.. sial kesiangan lagi!!”
desahku bernada kesal. Dan terdengar di balik pintu kamarku dentuman kayu yang
begitu keras, “tok tok tok tok.. bangun rangga!!, ini sudah terlalu siang, tak
ingatkah kamu hari ini kita akan pergi?” tak asing lagi itu suara ibuku yang
membangunkan anaknya yang pemalas “iya bu.. aku sudah bangun kok” jawabku
sambil merapihkan ranjang tidurku.
Bergegas
ku pergi ke kamar mandi, sebetulnya mandi pagi adalah hal yang tak biasa
kulakukan, bukan takut akan air, tapi air itu sendiri yang takut padaku, karena
mungkin diri ini terlalu panas untuk disirami, apalagi disirami nasehat-nasehat
rohani. Harusnya bukan siraman, lebih tepatnya lagi guyuran. Ah sudah lah, tak
peduli apa itu, yang kuingat hari ini adalah hari dimana aku akan beranjak dan
merantau ke penjara suci, yaaah orang-orang bilang pondok pesantren adalah
penjara suci, aku sendiri pun masih bertanya-tanya apa makna penjara suci?
Bukankah penjara itu tempat orang-orang yang melakukan perbuatan kriminal?
Tempat orang-orang yang melanggar norma kehidupan? Lalu, kenapa penjara bisa
disebut suci? Ku akhiri saja kebingunan ini dengan guyuran pertama yang menjulurkan
air ke seluruh tubuhku “brushhhh…”
Tubuh terasa segar setelah mandi pagi memang itu benar,
seperti halnya kebingungan ini yang masih segar dan tak melayu. Terlahir dari
keluarga yang cukup religius memang anugerah yang patut disyukuri, tetapi tak
bisakah sedikit saja melakukan hal yang disukai tanpa terikat keluarga yang
religius, semaunya, tanpa melanggar norma-norma agama, mengapa harus selalu
taat agama? Aku pun sama saperti anak yang seumuran lainnya, ingin menghabiskan
waktu, bersuka ria, tanpa ada sekat yang membuat jera. Mungkin keluarga lebih
tau mana yang lebih baik untuk anaknya kelak.
Mulai kukemas hampir seluruh pakaianku yang berada di lemari
baju ke dalam koper, tak lupa pula Alquran sebagai pedoman hidup umat islam,
begitu kata orangtuaku. Tak berlama-lama setelah itu, di luar garasi rumah
sudah terdengar suara mesin mobil yang sudah siap meluncur, nampaknya sedang
menungguiku “rangga.. ayo cepat masuk ke mobil, kita sudah terlalu siang,
jangan sampai ada yang tertinggal barang bawaannya” teriak ayahku di dalam
mobil. “iyaaa.. aku segera kesana” pekiku bernada lemas
Sudah hal yang biasa jika setiap hari telinga ini selalu
disuguhkan dengan siraman rohani dari orangtua, aku lupa .. ternyata bukan
siraman rohani tetapi guyuran rohani lebih tepatnya. Di dalam mobil pun ketika
dalam perjalan selalu itu yang menjadi makanan pokok, hanya menganggukan kepala
ketika mendapati itu. Tak ada yang salah memang, tapi rasanya daun telinga ini
sudah tak sanggup lagi membendungnya. Terdengar jelas untaian kalimat ayahku
“Rangga, ingat pesan ayah, di pesantren nanti kamu tidak boleh bermalas-malasan
seperti sekarang, disana akan banyak ilmu yang bisa digali semaumu, bargaul lah
dengan para ulama, banyak keberkahan dari mereka, asal kamu yakin dan percaya,
itu saja kunci kesuksesannya” dan lagi-lagi akupun hanya menganggukan kepala.
Mulai kuberpikir.. sesekali ku merasakan hal yang tak ingin
kulewatkan, sesekali ingin rasanya hal itu tetap bertahan, namun kutahu,
sesuatu yang ada pasti akan tiada, begitulah dan akan selalu begitu, tinggallah
kunikmati atau mengira-ngira akan sesuatu yang terjadi nanti.
Tidaklah sia-sia, meskipun telah tiada itu pernah ada, meskipun tak lagi ada, tapi ini tentang bagaimana aku merasa, indahkah? burukkah? indah yang menjadi buruk? Atau buruk yang menjadi indah? dan semoga semuanya tetap indah
Tidaklah sia-sia, meskipun telah tiada itu pernah ada, meskipun tak lagi ada, tapi ini tentang bagaimana aku merasa, indahkah? burukkah? indah yang menjadi buruk? Atau buruk yang menjadi indah? dan semoga semuanya tetap indah
Pukul 12.00 WIB sampai tempat tujuan, tak terasa perjalanan
yang begitu cepat membuat badan ini lemas, kulihat di sekelilingku terasa ramai
oleh para makhluk yang bersarungan dan berkopiah, siapa mereka? Terlihat aneh.
Ditambah terdengar lantunan shalawat yang menggema di penjuru masjid. “Hay..
cepat keluar dalam mobil, masih saja bermalas-malasan, ayoo kita shalat dzuhur
dulu berjamah” saut ayahku di samping kaca mobil yang sudah siap menuju masjid.
Ada yang berbeda di sini, aku pun tak tahu itu apa, yang
jelas ini nuansa yang bening, yang tenang, ketika memasuki masjid di pesantren
ini. Apa ini yang disebut penjara suci? tak kulihat sedikitpun orang yang
bermuka kriminal, apalagi seorang pecandu nark*ba. Ah kupikir ini hanya ilusi.
Tapi ini sungguh luar biasa sang maha karya, aku terhenyak melihat para santri
yang begitu antusiasnya, berebut barisan terdepan saat iqomah dikumandangkan
bagaikan prajurit yang siap menghadang para penjajah yang meyerang, bahkan
lebih daripada itu
Selepas shalat ashar, ayahku mengajak untuk menemui pengasuh
pesantren, oiya aku sempat lupa tidak memberi tahu nama pesantren ini, nama
yang aneh dan jarang ada, bahkan bukan dari kosakata arab, “TURUS” itulah namanya,
awalnya aku berfikir jika nama itu dibalik, maka akan berubah tata huruf dan
maknanya menjadi SURUT, ah dasar aku ini orang yang mengada ngada dan jail
hahaha… tapi dari nama yang kubilang aneh itu, ternyata inilah awal kehidupan
baru, perjuangan, pertualangan yang entah seperti apa kedepannya
Bertatap muka dengan seorang pewaris nabi atau lebih tepatnya
lagi kiyai itu suatu keberuntungan yang tak terkira, kepuasan, masih tergambar
jelas raut mukanya yang bersinar penuh dengan kesuri tauladanan. Tapi aku
merasa hina jika harus menyentuh telapak tangannya yang begitu lembut, aku si
pendosa yang hanya mengingat Tuhan bila didera derita, berbeda dengannya. Dan
kali ini tak dapat kusangkali, hadirnya keluarga yang kubilang cukup religius
ini, membawa arti sendiri bagi hidupku, ternyata inilah yang mereka dambakan
unuk anaknya. Lambat laun kumulai mengerti apa makna perjuangan hidup di dunia
yang begitu fana ini
“ayah tinggal sekarang yaa nak.. kamu sudah besar dan harus
mandiri, ingat pesan ayah yang tadi” ucap ayahku sambil mengusap usap pundak
anaknya yang pemalas dan disambung ibuku yang mengkecup kening ini yang
mengkerut akan kegelisahan yang melanda dalam pikiran. Dan mereka pun beranjak
pergi, menghilang tanpa ada satu pun yang membekas, kecuali nasehat dan kecupan
pada kening ini.
7 juli 2010, awal ku memasuki pondok pesantren, entah harus
mulai darimana ku berbuat, terasa hampa, deras tapi tak curah, gempar tanpa
suara, tak ada lagi siraman-siraman rohani dari seorang ayah ataupun dentuman
kayu pintu dari seorang ibu yang membangunkan anaknya. Aku merasa bebas? Tidak
juga, ternyata hal itulah yang membuat aku jera, tapi tak usahlah aku berlarut
larut dalam kegundahan yang tertanam, lagipula aku bukanlah bocah ingusan lagi,
yang meminta sesuatu kepada orangtua langsung terkabulkan saat itu juga. Kini
berbeda.. inilah fase dimana aku harus menjadi aku, sebagian aku adalah aku,
bukan aku yang menjadi mereka atau aku yang menjadi keaku akuan.
Kujalani rutinitasku sebagai santri di pondok pesantren,
bertemu dengan teman baru lintas wilayah, berbeda bahasa, suku bahkan adat
istiadat sekalipun. Mereka sungguh luar biasa.. rela meninggalkan kampung
halaman yang begitu jauh dan keluarga yang amat sangat dicintainya, hanya untuk
memperbaiki masa depan. Tiada perjuangan, dan petualangan yang seindah ini
Membawa status “santri” suatu hal yang tak mudah, yang tidak
semua orang bisa mempertanggung jawabkannya, begitupun aku. Terasa berat
mengemban status ini. Tapi apalah arti hidup jika tanpa perjuangan, bukan hidup
namanya
Dan yang mengharukan, di pesantren ini seluruh santri
diwajibkan bangun tidur di sepertiga malam untuk melakukan shalatullail (shalat
tahajud) yang sebelumnya belum pernah sama sekali aku lakukan di rumah,
jangankan untuk shalat tahajud, shalat subuh pun sering sekali terlewatkan.
Kemudian shalat subuh berjamaah, dilanjutkan dengan mengikuti kajian pengajian.
Perjalanan hidup yang berbeda dari sebelumnya, petualangan yang lebih menantang
dari cerita manapun, inilah dunia pesantren.. yang katanya banyak melahirkan
tokoh tokoh agama, cendikiawan, atau bisa juga melahirkan teroris. Itu semua
tergantung kita yang ingin jadi seperti apa kedepannya
Kembali lagi pertanyaan yang dulu pernah mendistorsi
pikiranku, “mengapa pondok pesantren disebut penjara suci?”
Jika penjara menurut orang-orang umumnya adalah tempat dimana
manusia mendekam dibalik jeruji besi karena sebagai balasan bagi mereka yang
melakukan kejahatan kriminal, berbeda halnya dengan pondok pesantren yang
disebut penjara suci. Kini kumulai mengerti apa maksud tersebut. Dan ternyata
tak jauh beda dengan pengertian umum sebelumnya, perbedaaanya haya satu..
mereka yang mendekam di pondok pesantren bukanlah orang-orang yang melakukan
perbuatan kriminal, tetapi merekalah orang-orang yang menjauhkan diri dari
perbuatan kriminal, itulah yang menyebabkan pondok pesantren disebut penjara
suci.. suci dari kejahatan-kejahatan, suci dari perbuatan-perbuatan kriminal
“Khudz ma shofa wa da’ma kadara (ambil yang baik tinggalkan
yang buruk)” begitulah kata mutiara dari bahasa arab yang dilafalkan oleh
guruku ketika mengikuti pengajian. Ternyata dari kata-kata itulah yang selalu
membawa energy positif bagiku ketika diri ini mengalami kebingungan, keraguan
akan menjalani suatu hidup dan kehidupan. Melalui kata-kata itu pula, keraguan
dalam diri ini lenyap begitu saja ketika menghadapi dua pernyataan yang
bertolak belakang, mengikuti kemauan orangtua masuk pondok pesantren atau
mengikuti nafsu sendiri?
Dan jawabannya sudah terkemas rapi dalam cerita hidupku ini…
Dan jawabannya sudah terkemas rapi dalam cerita hidupku ini…
Tak lepas dari itu.. perjalanan, petualangan hidupku..
singkat cerita.. enam tahun sudah aku menimba ilmu di pesantren, terasa ada
yang menggaris dan menggores dalam benak ini, hampir saja aku melupakan sosok
wujud yang selama ini membuatku semangat, yang selalu medoakan dari kejauhan,
tak letihnya kuberjuang untuk menciptakan tangisan kebahagiaan di wajahnya yang
muram, siapa lagi jika bukan peran ayah dan ibu sebagai inti dari keluarga.
Tanpa mereka, aku takan bisa lahir ke dunia, tanpa dedikasi mereka aku bukanlah
apa-apa. Mungkin kini mereka sedang menatap awan di sebelahnya lewat jendela,
kembali terbayang olehku, senyumnya tatapannya. Mungkin tidak berubah, hanya
mungkin saat ini senyum dan tatapannya bermakna bahagia tak terkira, kepuasan.
02.30 WIB, tepat di sepertiga malam.. ku bentangkan sajadah
menghadap kiblat lalu mulai kubersidekap untuk menunaikan shalat. Inilah aku
yang hanya mengingat Tuhan bila didera derita.. malu aku.. hina aku.. Dan
biarakan pada rapal doa di sepertiga malam ini menjadi saksi, menjadi bukti,
menjadi arti, kelak sang pemilik hati menjadikan diri ini tetap mengabdi kepada
sang ilahi rabbi
Cerpen Karangan: Anjas Ahmad Munjazi
Facebook: facebook.com/anjasahmadd
Diangkat dari kisah nyata penulis
Facebook: facebook.com/anjasahmadd
Diangkat dari kisah nyata penulis
terima kasih telah berkunjung ke blog ini
0 Komentar